*BAYI  ANENCEPHALY*

Informasi, Cerita dan Berita tentang masalah anencephaly pada bayi didalam negeri maupun diluar negeri

        Halaman Depan

              Fakta 

           ->Cerita

              Foto-foto

           Pencegahan

          Persiapan Diri

              Keluarga

             Bibliografi

           Kata Mutiara

                Links

              Network

    Download Ringkasan

           Terbaru Kini

 

Kirim Pesan atau Berbagi Cerita

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  Hak Cipta © Copyright 2009

Bayi-Anencephaly.info

 

CARMEN ARVIANSYAH

 

Pengalaman dengan bayiku Carmen Arviansyah

Cerita ini berawal pada hari raya Nyepi di Bali, tempat kita tinggal, 7. Maret 2008. Pada hari sunyi ini, saya meditasi dengan perasaan berbunga-bunga, sebab saya terlambat datang bulan. Saya membayangkan Nyepi tahun berikutnya dimana kesunyian akan terganggu oleh tangisan seorang bayi. Suamiku penasaran, mengapa saya senyum-senyum sendiri. Berita yang menyenangkan tapi sekaligus mengkhawatirkan, saya rahasiakan dulu. Namanya juga baru “telat” seminggu, belum pasti, lagipula tahun sebelumnya pernah mengalami keguguran. Tapi, ya, tetap saja, rasa senang dan yakin mengalahkan rasa khawatir sehingga mampu membayang-bayankan kehidupanku dengan si bayi mungil, apalagi anak-anakku sudah besar (Matheus 24 dan Rebekka 18) Sejak saat itu saya sudah mulai komunikasi dengan makhluk kecil yang sedang nyaman dalam perutku.

Pada saat minggu ke 6 saya mulai periksa ke dokter. Pada minggu ke 16, dokter melakukan USG dan mengatakan semuanya normal, bahkan kepala bayi dia ukur, katanya 1,7cm. Suami saya kelihatannya terengah-engah melihat anak pertamanya di layar USG dimana sang janin berenang-berenang seperti ikan teri. Saking kegirangannya, saat ia merekam dengan HP, dia lupa mematikannya sehingga seluruh pembicaraan dokter kerekam. Pemeriksaan rutin setiap bulan selalu dengan hasil yang menyenangkan, detak jantung sang janin dan pergerakannya kuat, tekanan darah saya normal dan timbangannya naik terus. Sampai kehamilan berumur 5 bulan, saya cukup yakin kali ini semuanya baik-baik. Saya mulai memikirkan tempat yang menarik untuk melahirkan nanti. Sebuah yayasan memberi kebebasan untuk memilih sendiri cara kita ingin melahirkan. Dari dulu saya ingin melahirkan di dalam air, sehingga saya mulai diperiksa oleh bidan-bidan di yayasan itu. Waktu saya hamil 6 – 7 bulan saya mulai merasa ada keganjilan, rasanya ukuran perut saya kurang besar dan ketika bidan saya sempat berkomentar, bahwa dia tidak menemukan kepalanya pada saat dia meraba posisi bayi, saya memutuskan untuk periksa pakai USG lagi di tempat praktek dokter.

Hasil USG menunjukkan kepala bayiku terlalu kecil, tapi dokter menganjurkan untuk memeriksa lebih lanjut di rumah sakit dengan alat USG (4 dimensi) yang lebih canggih.

Malam itu juga saya ke rumah sakit, kebetulan suamiku tidak ikut malam itu. Suster-suster langsung menghubungi ahli kandungan untuk melakukan USG, dan dokternya pun langsung datang, rupanya catatan dari dokter saya untuk rumah sakit yang menyebut „suspect anencephaly“ membuat suster dan dokter cukup gempar. Pada waktu itu, saya sama sekali belum mengerti artinya “anencephaly” itu, tapi saya sudah dapat menduga bahwa kelainan bayi tercintaku ini cukup serius. Di ruang tunggu saya mulai sakit perut saking tegangnya. Masuk ruang periksa, perut saya dikasih gel untuk melakukan scan USG, badan saya gemetaran karena ketakutan. Dokter mulai memperhatikan layar USG dan dari raut wajahnya saya langsung dapat mengartikan bahwa ada yang tidak beres. Sayapun mulai menangis, menangis dan menangis. Tidak ada yang mencoba menenangi diriku, bahkan suasana tambah parah waktu dokter mengatakan bahwa bayiku kelihatannya seperti kodok. Saya memang tidak berani melihat sendiri layarnya, apalagi setelah dokter ngomong begitu. Setelah selesai saya langsung permisi dulu, saya langsung sakit perut dan mencret-mencret ketakutan. Pada saat dokter memberi satu buku kecil yang berisi data hasil USG dan foto-foto bayiku, dia menjelaskan untuk „diambil“ saja bayinya dengan operasi caesar, tidak ada gunanya diteruskan kehamilannya, toh bayinya sudah pasti akan meninggal.

Berita ini saya terima dengan shok, dalam keadaan masih gemetar saya pulang naik motor, tak sabar untuk ketemu suamiku. Saya tetap tidak berani melihat foto-foto hasil USG. Duniaku seolah-olah gelap tiba-tiba, hati hancur berantakan dan pikiran tak karuan. Seumur hidup saya belum pernah merasakan begitu putus asa. Suamiku mencoba menenangkan dengan kata-kata seperti „dokter tidak selalu benar, apalagi menentukan hidup atau mati seseorang“.  Malam itu tentunya menangis terus dan tidak bisa tidur. Banyak pertanyaan melintas pikiranku: „Mengapa ini terjadi? Mengapa pada diri saya? Apa salah saya? Kalau bayinya begitu cacat, mengapa dia tetap hidup dan bergerak di dalam kandungan saya? Mengapa detak jantungnya normal? Mengapa harus diambil? ...dan sebagainya.

Besoknya saya bertemu dengan bidan saya, yang membantu menjawab banyak pertanyaan. Juga informasi yang saya dapatkan di internet, sehingga saya dapat memutuskan dengan pasti, bahwa saya tidak akan mengugurkan bayiku selama hal itu tidak membahayakan diri saya. Tuhan telah memberikan seorang bayi, biarkan Tuhan yang mengakhiri hidupnya, bukan diriku. Putusan itu bukan wewenang seorang dokter, apalagi selama saya dan bayiku sehat-sehat saja. Untungnya suamiku juga berpendapat demikian.

Kehidupan sehari-hari berlanjut, saya tetap bekerja walaupun setiap saat ingat bayiku, betapa malang nasibnya. Saya berusaha menutup-nutupi perasaanku dan begitu berada di kamarku sendiri, pasti tak tahan menangis. Tak mudah menjalani hidup, kadang serasa akan tidak waras. Ingin rasanya sembunyi di kamar terus, tidak mau ketemu siapa-siapa.

Sekitar 1 minggu setelah diagnose, malamnya saya mimpi bayiku dan terbangun oleh suara yang mengatakan nama bayinya „Carmen“. Sejak itu kami memanggilnya Carmen yang artinya taman atau dalam bahasa spanyol nyanyian. „Taman nyanyian“ kedengarannya seperti surga.

Berhubung diagnose bayinya anencephaly dan pasti akan meninggal, dokter ahli kandungan tidak minta saya untuk kontrol lagi, sehingga saya lanjutkan kontrol pada bidan. Yayasan tempat saya ingin melahirkan, akhirnya menolak untuk terima saya. Untungnya bidan bersedia untuk membantu saya di rumahku sendiri. Saya tidak terbayang melahirkan di rumah sakit dan bayiku menjadi tontonan dan pasti dimasukkan inkubator, infus dan sebagainya. Kalau bayiku tidak hidup lama, penting bagiku agar dia paling tidak dapat merasakan kasih sayang dan kedekatan ibu dan ayahnya.

Persalinan

Suamiku mendukung rencana untuk melahirkan di rumah sendiri. Dia membeli kolam anak-anak yang bisa ditiup agar cita-citaku untuk melahirkan di dalam air tetap terwujud.

Minggu ke 40 tiba, tetapi tidak ada tanda-tanda akan melahirkan. Di tempat yayasan saya tetap dapat perawatan, obat-obat alami, akupunktur, obat cina dan sebagainya dicoba untuk merangsang proses persalinan. Tidak ada yang mendorong bayiku untuk memulai persalinan, sehingga pada minggu ke 42 (2 minggu setelah mestinya lahir) bidan memberi obat kimia bernama “Cytotec” yang diminum setiap 4 jam. Baru sekitar 10 jam kemudian mulai ada tanda-tanda sakit perut.  Besok harinya kontraksinya baru mulai keras dan tengah malam air ketuban pecah pada saat saya berendam di dalam kolam air hangat. Syukur, saya pikir, sekarang tidak lama lagi. Tapi ternyata kontraksinya malah berkurang, sehingga saya ganti posisi lagi, keluar lagi dari kolam jalan-jalan mondar mandir di dalam rumah. Saya beruntung karena bidan yang menemaniku sangat pengertian, dia bilang bahwa saya boleh melahirkan dalam posisi apapun, dia jamin akan “menangkap” anakku. Ketika jam 4 pagi (4 jam setelah air ketuban pecah) kontraksinya semakin jarang, saya mulai khawatir dan coba minum obat Cytotec lagi dan 20 menit kemudian Carmen lahir, saya dalam posisi jongkok di lantai. Benar saja, bidanku menangkap Carmen dari belakang dan langsung memeriksa denyut jantungnya melalui tali pusar. Katanya kita mulai kehilangan dia, denyut jantungnya hampir tidak ada. Bidan satu lagi memberikan obat alami bernama carbo veg, dia menyuruh saya sama Andrew menggosokkan dadanya dengan obat ini. Seketika Carmen mengeluarkan suaranya mengisak-isak dan denyut jantungnya langsung kembali normal. Saya memeluk dan menyusuinya sambil menunggu ari-arinya keluar. Dia bisa menyusu, betapa gembiranya saya. Dengan rasa iba saya perhatikan bagian atas kepalanya yang memang dalam keadaan terbuka. Sewaktu saya masih hamil sering ada rasa takut akan bagaimana rupanya anakku, berani tidak saya melihatnya. Tapi ketika dia lahir dan mengeluarkan suara, saya langsung mencintainya melebihi apapun sehingga luka di kepalanya tidak begitu saya perhatikan. Saya perhatikan mukanya dan walaupun matanya tidak pernah ia buka, saya dapat merasakan bahwa dia melihat saya. Saya terkagum melihat hidung, mulut, telinga, tangan lengkap dengan 10 jarinya, kakinya yang mungil, seluruh badannya begitu sempurna. Betapa malang nasibnya, hanya karena kesalahan yang kecil tetapi begitu fatal akibatnya baginya.

Sekitar 20 menit kemudian ari-arinya keluar. Kami tidak potong tali pusar sampai dengan 7 jam kemudian. Ari-arinya diletakkan dalam wajan berisi bunga-bunga. Menurut penilitian bidan-bidan yang saya kenal, bahwa ada pengaruh yang positif terhadap bayi, jika tali pusar tidak langsung dipotong. Bayi yang baru dilahirkan mengalami stress yang cukup besar, dan pemisahan antara bayinya dengan ari-arinya menjadi beban tambahan bagi si bayi, sehingga sebaiknya dibiarkan dulu. Di kepulauan Polynesia ada tradisi untuk membiarkan bayi bersama ari-arinya untuk jangka waktu 1 hari atau lebih, dan ari-arinya diberi rempah-rempah untuk tambahan tenaga bagi si bayi. Cara ini disebut “Kelahiran Lotus” dan dipercaya memberi tenaga tambahan bagi si bayi,

Waktu kami bersama Carmen

Carmen dilahirkan pada hari Kamis subuh jam 04:20 h dan meninggal 4 hari kemudian pada hari Senin jam 07:40 h pagi hari. Hari pertama dan kedua seperti halnya dengan bayi lainnya, dia bergerak, menyusu, ngompol, dia tidak menangis seperti bayi lainnya tapi ada keluar suara-suara. Pada hari ketiga dan keempat dia sudah terlalu lemah untuk menyusu sendiri, sehingga saya pompa ASInya setiap tiga jam dan memberikan susunya dengan pipet. Carmen tidak pernah membuka matanya, matanya yang kanan agak bengkak, tapi mukanya lucu sekali. Dalam hidupnya yang begitu singkat, kami terus mengaguminya, menciumnya, menyanyi-nyanyikan lagu, mengisap jempol tangannya yang mungil dan tidak lupa mengambil foto sebanyak-banyaknya. Dia membuat kita begitu bahagia. Saya nyaris tidak tidur karena ingin bersamanya setiap saat dalam hidupnya yang tak tentu berapa lama. Pada hari ketiga dia semakin lemas, lengan dan kakinya sudah jarang bergerak, tangannya masih mengengam jari saya. Pada hari kelima sekitar jam 5 pagi Carmen mulai mengeluh dan susah napas. Saya langsung tahu bahwa saatnya telah tiba. Saya mengendongnya erat-erat dan menempelkan mukanya pada susu saya biar dia lebih nyaman menghadapi proses yang begitu berat baginya, ketika rohnya pelan-pelan meninggalkan tubuhnya. Pada napasnya yang terakhir, jam 07:40 h Carmen mengeluarkan air matanya. Burung-burung sedang sibuk menyanyi di pohon di luar jendela kamar saya, kami diam saja sekitar 1 jam, merasakan dia pergi.

Carmen, sayangku, betapa rindunya diriku padamu. Susu saya penuh, tapi tidak ada bayi yang menyusu....tidak ada hal yang lebih menyakitkan hati. Adalah melawan kodrat alam jika kita harus mengubur anak kita sendiri. Hidup setelah ditinggal seorang bayi, tidak akan terasa sama lagi, selalu ada kekosongan yang terasa seperti pedang tajam menusuk hati dan sesak napas. Carmen sayangku, kau akan selalu saya kenang dalam hatiku setiap saat dalam kehidupanku.

Kepada pembaca, mungkin ibu-ibu yang sedang menghadapi nasib yang sama, dari cerita pengalaman saya, hanya satu pesan saya, berhubung kami sudah tahu sebelumnya, bahwa bayi dengan kelainan anencephaly tidak akan bisa bertahan lama (biasanya paling lama 10 hari, dengan beberapa pengecualian yang dapat bertahan berminggu-minggu), cintailah bayinya, gendong dan rangkul dia, menyusui dia, perlakukannya seperti bayi lainnya. Tidak ada gunanya dia ditaruh di inkubator, lebih baik dia dapat meninggal dalam pelukan ibunya, dari pada di dalam kotak tanpa sentuhan. Kesedihan sudah pasti kita rasakan, akan tetapi kalau kita berusaha untuk memberi kasih sayang, kesedihannya tidak begitu putus asa. Paling tidak, pada masa hidupnya yang begitu pendek, ia mendapatkan kasih sayang kita.....

 

Ulrike < mamanya Carmen Arviansyah 27.11. – 01.12.08> 

 

                                                                                                                                                                                        <<Kembali    

Halaman Depan

 Berita

Informasi

Kirim Pesan atau Cerita Anda